Senin, 28 Juni 2021

BAB VI " EPILOG"

 

    BAB VI " EPILOG" 


    Abad XIX ditandai dengan perubahan sosial yang terjadi di  wilayah Vorstenlanden Surakarta. Perubahan sosial ini ditandai dengan persewaan tanah apanage di Vorstenlanden awal abad XIX. Salah seorang pejabat kolonial menjadi pelobi ulung antara pemerintah kolonial, investor Eropa, dengan penguasa lokal. Ia berhasil memengaruhi elit Praja Kejawen untuk mengubah peraturan agraria. Sejak saat itu, semakin banyak pemodal swasta menyewa lahan di wilayah Vorstenlanden. Persewaan tanah di Vorstenlanden dimotivasi oleh empat hal. Pertama, persewaan tanah dimotivasi oleh keinginan pemilik modal untuk memanfaatkan lahan-lahan subur di Vorstenlanden. Kedua, keinginan pejabat kolonial untuk mendapatkan tambahan kekayaan dari persewaan lahan Vorstenlanden. Ketiga, pemerintah kolonial ingin menambah kas yang banyak terkuras akibat perang dan pemberontakan. Keempat, orang-orang Eropa berkepentingan untuk turut andil dalam misi pemberadaban kaum bumiputra yang dianggap masih terbelakang.Seiring dengan reorganisasi agraria, kedudukan pengusaha swasta semakin besar. Ekonomi perkebunan mencengkram kuat kehidupan di wilayah Vorstenlanden. Lahan-lahan Vorstenlander disesaki oleh perkebunan-perkebunan yang dikelola oleh pemodal swasta dan penguasa lokal. Salah satu komoditas yang dibudidaya kan adalah serat alam. Vorstenlanden mengikuti tren penanaman serat di daerah-daerah gubernemen yang sudah lebih dulu membudidayakan kapuk, yute jawa, rosela, serat abaka, serat /lapper, serat aren, serat rami, jerami, dan serat nanas. Jawa pun segera menjadi penghasil serat utama yang mampu memenuhi pasar lokal dan internasional.

   Di daerah Vorstenlanden salah satu perkebunan yang bergerak dalam bidang pengolahan serat alam adalah Onderneming Mento Toelakan. Lahan Mento Toelakan berada di wilayah enklaf Praja Mangkunegaran yang disewa oleh pengusaha swasta. Awalnya, Mento Toelakan ditanami kopi. Pada 1897, Mento Toelakan mengalami masa transisi dari koffieonderneming menjadi vezelonderneming. Pada 1910-an, Mento Toelakan sudah menjadi vezelonderneming.  Mento Toelakan pun menjelma menjadi produsen serat terbaik di Hindia Belanda. Penghargaan demi penghargaan diperoleh sebagai bentuk apresiasi terhadap capaian produksi serat. Surakarta, sebagai ibu kota Vorstenlanden pun didapuk sebagai tuan rumah kongres serat pertama di Hindia Belanda. Dalam kongres tersebut, Mento Toelakan menjadi pusat perhatian. Hal ini memperlihatkan bahwa Mento Toelakan merupakan onderneming penting di Hindia Belanda. Kejayaan perkebunan serat Mento Toelakan berakhir kala Jepang menduduki Surakarta pada 1942.Mento Toelakan memang masih berdiri, tetapi produksi serat diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pemerintah militer Jepang. Serat dibutuhkan sebagai bahan pembuatan sandang dan kebutuhan perang. Mento Toelakan lebih memberikan manfaat kepada pemerintah militer Jepang daripada masyarakat setempat. Setelah Jepang angkat kaki dari Indonesia, Mento Toelakan diambilalih oleh Istana Mangkunegaran. Namun demikian, situasi politik dan ekonomi Surakarta tidak stabil sehingga memengaruhi kondisi perkebunan Mento Toelakan. 

    Mento Toelakan Desa Wonoharjo. Pemberdayakan hasil-hasil serat alam. Mereka memanfaatkan tanaman serat untuk diproduksi sebagai rami dalam skala kecil sebagai usaha rumahan. Sayang sekali usaha tersebut mengalami kemandegan. Tidak berselang terlampau lama, Desa Wonoharjo kedatangan investor asal Surabaya yang ingin memanfaatkan memori olah serat dihasilkan oleh para petani. Serat rami diolah menjadi karung goni dan tali tambang. Hanya saja, usaha tersebut mulai menurun pad: periode 1990-an. Penyebabnya adalah kemunculan industn bi plastik yang menggusur penggunaan karung goni dan tali tamban  Mento Toelakan terus terpuruk akibat relasi antara Mangkunegaran dengan Pemerintah RI kurang harmonis apalagi Republik Indonesia. Apalagi, Pemerintah mengadakan nasionalisai terhadap aset Mangkunegaran. ketika Belanda mencoba mengambil alih Mento Toelakan pada 1948 Kondisi perkebunan sudah terpuruk. Perkebunan tidak bisa Menjual hasil produksi kibat kondisi perang perkebunan asil produksinya akibat kondisi perang. Perkebunan Mento Toelakan yang berada pada titik nadir kala dijarah oleh masyarakat Baik lat-alat produksi pabrik maupun jalur lori dijarah dan dijual. Selepas aksi penjarahan, perkebunan Mento Toelakan tidak lagi beroperasi.

    Wilayah Mento Toelakan berubah menjadi Sisa-sisa lahan perkebunan yang lantas dipatok dan dibagi-bagikan kepada masyarakat. Masyarakat yang mengajukan pemetaan dan pembabatan lahan memperoleh hak kepemilikan secara legal oleh pemerintah. Masyarakat tidak lagi membudidayakan serat nanas karena dianggap tidak bisa memberi penghidupan. Mereka menggantinya dengan tanaman-tanaman pertanian seperti padi, singkong, dan jagung. Lahan yang di masa lalu merupakan perkebunan berubah menjadi tanah tegalan. Namun demikian, masih ada upaya dari beberapa petani untuk memanfaatkan tanaman serat peninggalan perkebunan Mento Toelakan. Mereka tampil sebagai pengusaha kecil yang memberdayakan hasil-hasil serat alam. Mereka memanfaatkan tanaman serat untuk produksi rami dalam skala kecil. namun usaha tetap mengalami kemandegan. Tidak berselang lama, Desa Wonoharjo kedatangan investor asal Surabaya yang ingin memanfaatkan memori olah serat. Hanya saja periode 1990 produksi menurun akibat kemunculan bijih plastik kisah kejayaan perkebunan serat berakhir disini sekitar tahun 1996. Mento Toelakan memang meninggalkan kenangan kejayaan peradaban serat. Benar-benar berakhir pada 1996. Mento Toelakan memang hanya meninggalkan kenangan kejayaan peradaban serat. Akan tetapi kisahnya telah memberikanbeberapa dampak penting bagi kehidupan masyarakat yang hidup di are perkebunan. Masyarakat lokal mulai mengenal tanaman serat Agave sp yang berasal dari benua Amerika. Masyarakat memperoleh ilmu budidaya tanaman serat, khususnya serat nanas (Agave sp) yang tahan terhadap iklim kering dan lahan yang kurang subur. Selain itu, masyarakat juga mendapatkan pengetahuan tentang cara pengolahan serat. Purna wicara, narasi historis tentang Mento Toelakan sudah membuktikan bahwa perkebunan serat telah turut andil dalam konomi perkebunan di Hindia Belanda. 

    Kajian historis ini juga membuktikan bahwa lahan kurang subur pun dapat dieksploitasi melalui penanaman serat nanas. Oleh sebab itu, penelitian ini dapat dijadikan pemantik bagi pengembangan komoditas serat nanas di deerah-daerah yang kurang subur. Apalagi, kebutuhan serat alam di pasar internasional masih tinggi. Dengan demikian, perekonomian Insyarakat yang tinggal di area beriklim kering dan kurang subur untuk tanaman pertanian dapat ditingkatkan.pengolahan serat. Purna wicara, narasi historis tentang Mento Toelakan sudah membuktikan bahwa perkebunan serat telah turut andil dalam konomi perkebunan di Hindia Belanda. Kajian historis ini juga membuktikan bahwa lahan kurang subur pun dapat dieksploitasi melalui penanaman serat nanas. Oleh sebab itu, penelitian ini dapat dijadikan pemantik bagi pengembangan komoditas serat nanas di deerah-daerah yang kurang subur. Apalagi, kebutuhan serat alam di pasar internasional masih tinggi. Dengan demikian, perekonomian masyarakat yang tinggal di area beriklim kering dan kurang subur untuk tanaman pertanian dapat ditingkatkan.

 

 


BAB V " Layu Sebelum Berkembang: Menghidupkan Kembali Industri Serat (1942-1996)"


 BAB V

 " Layu Sebelum Berkembang: Menghidupkan Kembali Industri Serat (1942-1996)"

Periode 1940-an merupakan masa yang tidak stabil. Perubahan kepemimpinan dan peraturan berlangsung secara cepat.  Pemerintah Hindia-Belanda terpaksa menyerahkan otoritasnya kepada pemerintah militer Jepang. Hal ini turut berdampak pada perubahan sistem pengelolaan perkebunan di Hindia-Belanda, termasuk perkebunan Mento Toelakan.

A. Mento Toelakan Masa Pendudukan Jepang

    Pada 1942, Pemerintah Hindia Belanda mengadakan perjanjian penyerahan kekuasaan kepada pemerintah militer Jepang. Pasukan KNIL dan Legiun Mangkunegaran yang bertugas sebagai pasukan pengamanan tidak dapat menahan gempuran pasukan Jepang. Kota Surakarta pun dikuasai Jepang. Wilayah Vorstenlanden ditetapkan sbagai Kochi oleh pemerintah militer Jepang sehingga terdapat Kasunanan Kochi dan Mangkunegaran Kochi di Surakarta.Kejatuhan Kota Surakarta kemudian diikuti dengan beberapa lebijakan dari pemerintah pendudukan Jepang untuk mendominasi daerah taklukannya tersebut. 29 Kebijakan awal dari pemerintah pendudukan Jepang adalah merubah status hubungan antara penguasa lokal dengan pemerintah militer Jepang. Paku Buwana Xl (1939-1945) disebut sebagai Surakarta Koo dan Mangkunegara VII (1916-1944) disebut sebagai Mangkunegara Koo. Kedua penguasa lokal ini statusnya berada di bawah Dai Nippon Gunshireikan Panglima Besar Dai Nippon). Pemerintah militer berkeinginan agar mereka mau bekerja sama dengan Jepang.”'

    Kebijakan Jepang tersebut turut memengaruhi Onderneming Mento Toelakan. Pada masa itu, para pengusaha Eropa mesti angkat koper kembali ke negaranya atau ditangkap pemerintah militer jepang. Demikian pula dengan orang-orang Eropa yang berada di Mento Toelakan, mereka juga mesti angkat kaki. Semua lahan perkebunan diambil alih oleh Jepang untuk kepentingan militer kepang, Pengambilalihan tanah diatur oleh Undang-Undang No. 17 1 Juni 1942. Tanah yang diambil dari partikelir diawasi atau Kantor Urusan Tanah Partikelir (Siryooti  Kanrikosya). Tanah yang diambil hanya tanah partikelir asing, bukan tanah partikelir bumiputra. Pemerintah Jepang berhak atas selury, tanah yang wilayahnya dikuasai jika pemerintah menginginkan tanah tersebut baik dengan cara perampasan ataupun dengan ganti rugi Sesuai dengan harga yang ditentukan Jepang.”

     Adanya perubahan kebijakan mengenai sistem sewa tanah dap Juga pengelolaan perkebunan berdampak pada Onderneming Ment, Toelakan. Onderneming Mento Toelakan berubah kepemilikan atay Status pengelolaanya di bawah penguasaan pemerintah militer Jepang. Ingatan masyarakat Wonoharjo (eks lahan Onderneming Mento Toelakan) menyebutkan bahwa perkebunan ini tetap beroperasi di bawah pengawasan dari Jepang. Perkebunan Mento Toelakan masih sejalan dengan program Jepang dalam pengembangan usaha yang diperlukan untuk keperluan perang. Pengolahan serat merupakan salah satu sektor yang mendapat perhatian lebih dari pemerintah pendudukan Jepang Pemerintah pendudukan Jepang melihat usaha perkebunan dan pengolahan serat sebagai usaha yang vital dan perlu dieksploitasi. Pemerintah pendudukan Jepang meluaskan perkebunan serat di bawah

B. Mento Toelakan Masa Revolusi

    Pada 1945 Jepang menyerah kepada sekutu. Hal ini berdampak pula terhadap daerah-daerah yang dikuasai, seperti Indonesia. Terjadilah kekosongan kekuasaan di Indonesia. Para pemuda progresif Indonesia berhasil memaksa Sukarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Perubahan cepat yang terjadi di Indonesia berdampak pada beberapa aspek sosial. Interniran Belanda yang ditawan Jepang dibebaskan, termasuk para pekerja Eropa-Indo yang berada di Mento Toelakan. Surakarta segera ditetapkan sebagai daerah istimewa oleh Pemerintah Republik Indonesia. Pemerintah mengakui Daerah Istimewa Mangkunegaran (DIM) dan Daerah Istimewa Surakarta (DIS) sebagai bagian dari Republik Indonesia. Wonogiri sebagai dari wilayah Mangkunegaran pun menjadi bagian dari DIM. Wilayah Mento Toelakan sebagai bagian dari wilayah kusaan Mangkunegaran turut terpengaruh. Perkebunan dan srusahaan serat Mento Toelakan diambil alih oleh pihak mekunegaran untuk dioperasikan. Namun riwayat perkebunan ini tidak banyak meninggalkan catatan selama periode sebut.

    Sementara itu, kondisi Mangkunegaran sebagai penguasa di alam republik juga menghadapi masa yang sulit. Mangkunegaran mampu menyesuaikan diri dan terjadi gerakan anti swapraja. Pemerintah Republik mengambil jalan tengah supaya gerakan anti wpraja tidak meluas dengan mengeluarkan Penetapan Pemerintah Ko. 16SD Tahun 1946 yang dikeluarkan pada 15 Juli 1946. Inti dari keputusan penetapan ini yaitu semua pegawai, bangunan dan peralatan diambil alih pemerintah pusat. Lebih lanjut, pemerintah Iengeluarkan aturan mengenai nasionalisasi aset perusahaan milik Mnekunegaran. Wacana nasionalisasi memengaruhi kegiatan  kebunan yang dilindungi oleh Mangkunegaran mengalami pemberhentian produksi serat . sekitar tahun 1948 tanggal 19 Desember pasukan Belanda  berupaya dating kembali ke wilayah Wonogiri dan berusa masuk ke kawasan Mento Toelakan namun dapadapat dihalangi dengan oleh para pejuang dengan menghancurkan jalan akses ke Minto Toelakan di hancurkan semua sedangkan mento Toelakan dijaga oleh pasukan semut ireng dan KNILdengan adanya peristiwa Minto Toelakan lumpuh dan mengalami kemuduran secara bertahap

C. Pembentukan Desa Wonoharjo

    Keruntuhan perusahaan-perkebunan di lahan Mangkunegaran pada akhir 1940-an menjadikan kawasan perkebunan mengalami kekosongan pemerintahan. Sistem pemerintahan desa yang pernah dibuat pada 1917 mengatur pemerintahan desa berdasarkan luasan perkebunan. Pada perkembangannya, perkebunan Mento Toelakan terdiri dari beberapa desa. Desa Wonoharjo merupakan desa induk atau inti dari desa yang ada di perkebunan Mento Toelakan. Desa Wonoharjo lahir pada 1949. Wonoharjo secara harafiah berasal dari dua kata, yaitu wana dan harja” yang berarti hutan (serat nanas) yang ramai. Wilayah Wonoharjo terdiri dari area eks pusat perkebunan Mento Toelakan yang paling luas. Terdapat beberapa wilayah atau desa yang muncul atau pecahan dari perkebunan. Wilayah perkebunan Mento Toelakan terdampak oleh perubahan wilayah administrasi saat Pemerintah Republik mengambil alih seluruh eks wilayah Mangkunegaran.

     Desa Wonoharjo dibagi menjadi empat belas dusun atau ligkungan. Dusun atau lingkungan di Wonoharjo meliputi Ngasinan Etan, Ngasinan Kulon, Mento, Gondang Kurung, Setro, Gendaran, Blumbang, Gebung Etan, Gebung Kulon, Semanding, Blimbing, Ioelakan (Tulakan), Bledo, Talun Ombo. Dusun Met merupakan eks pusat perkebunan atau pabrik serat nanas selama masa Onderneming. Dusun Mento sejak masa ondemenirg dijadikan sebagai pusat kegiatan pemerintahan, sedangkan ekonomi, pasar, sekarang masuk di Dusun Talun Ombo.

D. Pembagian Tanah Perkebunan Mento Toelakan

    Lemah nanasan bekas Onderneming Mento Toelakan menjadi tanah tidak bertuan kala Pemerintah Republik Indonesia menerapkan kebijakan nasionalisasi aset Mangkunegaran. Aset Mangkunegaran, termasuk aset tanah di Mento Toelakan diambil alih oleh negara, dan menjadikan tanah tersebut menjadi tanah negara. Merasa status tanah menjadi tidak bertuan, lantas masyarakat perkebunan atau bekas pegawai perkebunan melakukan pembabatan atau mbengkeli tanasan untuk dipatok. Masyarakat yang melakukan pembabatan lahan perkebunan bekas nanasan lantas pemetaaan untuk mendapatkan legalitas hak kepemilikan  individu. Tanah yang didapatkan oleh individu atau keluarga bisa mencapai 2,5 hektar karena jumlah penduduk. Tanah hasil bengkelan warga kemudian diukur atau dipetakan oleh petugas atau mantan Hoofd Mandoor yakni  Martosandjojo untuk mengetahui batas-batas wilayah antar petani. Tanah yang telah dibengkeli lantas diklaim sebagai hak guna sebelum akhirnya diajukan sebagai hak milik secara resmi.'”? Martosandjojo yang bertugas mengukur atau memetakan lahan untuk dijadikan sebagai acuan pembuatan akta tanah pada periode tersebut karena pengaruhnya sebagai orang yang pernah memiliki jabatan tinggi dalam struktur organisasi Onderneming Mento Toelakan. Selain itu beliau memiliki kharisma atau pengaruh

E. Dari Perkebunan Ke Tegalan: Menghidupkan Kembali Usaha Serat

        Perusahaan-perkebunan Mento Toelakan yang telah bangkrut. Sisa tanaman serat tumbuh dengan liar. Tanah perkebunan telah berubah menjadi tegalan. Namun demikian, pengalaman budidaya serat masih tersimpan dalam memori masyarakat. Perkebunan telah mengedukasi masyarakat tentang cara menanam dan mengolah tanaman penghasil serat. Pengalaman ini lantas memunculkan pan petani lokal yang mencoba untuk mengolah serat dalam skala kecil. Pada 1950-an beberapa petani mencoba peruntungan ber modalkan tanaman penghasil serat yang pernah ada di kawasan tersebut. Atmo Sudirjo Slamet dan Marto Sandjojo (Mantan Hoofd Mandoor Onderneming Mento Toelakan) adalah dua nama petani yang Mencoba mengolah serat untuk membangun perekonomian keluarga.?? Keduanya menjadi pengusaha kecil di Desa Wonoharjo . Kedua pengusaha kecil tersebut lebih banyak fokus pada pengolahan serat rami dan rosela. Tanaman rami dan rosela dipilih  karena serat nanas sudah dibengkeli masyarakat. Selain itu, pasar untuk menjual serat nanas juga sulit dijangkau. Sistem pemanfaatan atau pengolahan serat juga sedikit berbeda karena pengolahan serat ami dilakukan secara rumahan. Buruh mengambil bahan dari tempat pengusaha untuk diolah di rumah masing-masing, kemudian disetorkan kembali ke pengusaha.”

 

    Akhir 1940-an atau awal 1950-an terjadi perubahan lanskap yang besar di bekas perkebunan Mento Toelakan. Kawasan perkebunan berubah menjadi menjadi kawasan persawahan atau tegalan. Vegetasi utama perkebunan dibabat karena sudah dianggap tidak menghasilkan lagi dan lahan beralih fungsi menjadi lahan pertanian  Tanaman rami dan rosela menjadi tanaman yang tersisa dari bekas perkebunan Mento Toelakan. Rami dipilih sebagai tanaman serat pokok pada masa industri rumahan karena tanaman ini tidak membutuhkan banyak tempat. Tanaman ini relatif mudah untuk diolah dalam skala rumahan. Pengusaha lokal menjual serat dalam bentuk setengah jadi dan dikirimkan ke pabrik kngolahan lanjutan. Serat olahan pertama dari Wonoharjo dijual ke pengolahan serat di Delanggu (Klaten) atau ke Nusukan (Solo) 

Usaha serat rami yang dijalankan oleh pengusaha kecil di Wonoharjo tidak berkembang dengan baik. Pengolahan serat rami hanya berjalan beberapa tahun saja. Pada 1953, usaha pemintalan serat rami gulung tikar. Kegagalan menjalankan usaha serat rami Wonoharjo menjadi kegagalan. Pada 1955, Desa Wonoharjo kedatangan investor asal Surabaya yang tertarik menggarap wilayah tersebut sebagai sentra olahan serat. Pemilik modal melihat potensi masa lalu Desa Wonoharjo sebagai kawasan penghasil serat terbaik. Modal yang dimiliki masyarakat berupa pengalaman dan ketrampilan mengolah tanaman serat dimanfaatkan untuk mendulang kembali kejayaan Onderneming Mento Toelakan pada masa lampau. Pengusaha tersebut membeli hasil panen serat yang dihasilkan para petani di Desa Wonoharjo. Pengusaha mengolah serat menjadi karung goni dan tali tambang. Usaha ini bertahan hingga 1996. Seiring dengan perkembangan zaman, olahan serat alam tergeser oleh penggunaan plastik. Penggunaan biji plastik sebagai bahan dasar pengganti serat dinilai lebih praktis dan ekonomis. Serat terus terlindas biji plastik dan pada akhirnya serat kurang diminati. Perusahaan pengolah serat yang berbasis di Jawa Timur tersebut menutup tempat usahanya. Akibat dari gagalnya bersaing dengan biji plastik. Pada tahun 1996 riwayat serat di Desa Wonoharjo berakhir.

 

 

 


BAB IV " Riwayat Onderneming Mento Toelakan

 

BAB IV

Riwayat Onderneming Mento Toelakan

 

Sebagian besar lahan perkebunan Mento Toelakan berada di wilayah milik Praja Mangkunegaraan berdasarkan sumber sezaman Mento Toelakan di catat sebagai lahan enclave Praja Mangkunegaraan dimana kawasan ini termasuk wilayah yang dikelilingi oleh wilayah penguasa lokal yang lain seperti Kasunanan Surakarta. Wilayah Minto Toelakan terdiri dari wilayah apanage yan dikelola priyayi Mangkunegaraan namun berapa jumlah tanah pengolah ini belum dapat dipastikan

 

    Beberapa bukti tersebut mengindikasikan jika ia merupakan priayi yang pernah memegang apanage di wilayah Mento Toelakan sehingga ia dikebumikan di sana. Masa awal penyewaan lahan Mento Toelakan belum diketahui secara pasti. Data tertua yang ditemukan menyatakan bahwa perkebunan tersebut sudah beroperasi pada 1863.” Diperkirakan Mento Toelakan sudah disewa sebelum 1863 karena komoditas utama perkebunan tersebut adalah kopi yang membutuhkan waktu beberapa tahun sejak ditanam sampai berbuah, Berdasarkan data tersebut, lahan Mento Toelakan sudah disewakan ketika Mangkunegara IV (1853-1881) berkuasa. Pada masa itu pula Mangkunegara IV memulai kebijakan penarikan apanage. wilayah Mento Toelakan luput dari kebijakan tersebut. 

    Ada beberapa kemungkinan tanah Mento Toelakan bisa disewa oleh pemodal asing saat pemberlakuan kebijakan penarikan apanage. Pertama, Mento Toelakan tetap dikelola oleh narapraja ataupun anggota Legiun Mangkunegaran.  Kedua, lahan Mento Toelakan terlanjur disewakan kepada pengusaha swasta. Mangkunegara IV tidak mau direpotkan dengan perkara hukum yang ruwet (rumit) karena mesti melibatkan Residen Surakarta. Wilayah yang sudah kadung (terlanjur) disewakan tidak bisa ditarik, apalagi yang mendapat perlindungan dari pemerintah colonial Ketiga, lahan Mento Toelakan berada di zona abu-abu antara milik Kasunanan atau Mangkunegaran. Buktinya adalah tugu pal yang masih berada di area perkebunan Mento Toelakan.  Terakhir, penyewa tanah mendapat dukungan dari pejabat kolonial sehingga Mangkunegara IV mesti mengizinkan penyewaan tanah apanage yang berada di wilayah enklaf miliknya. Izin  penyewaan tanah ini dilanjutkan oleh para penerusnya Mangkunegaran pun mendapat penghasilan dari para penyewa tanah.  Di dalam Regerings-Almanak voor Nederlandsch-Indi disebutkan bahwa Mento Toelakan merupakan salah satu perkebunan  orang-orang Eropa di luar kontrak dengan gubernemen. Selama menjadi perkebunan, lahan Mento Toelakan telah mengalami beberapa kali pergantian penyewa. Mereka membudi. dayakan beberapa tanaman komoditas yang dikembangkan di daerah barat laut Wonogiri ini seperti kopi, tembakau, indigo, kapuk, lada dan serat nanas. Selain itu, para penyewa memiliki hak penguasaan wilayah untuk di wilayah konsensinya sesuai peraturan sewa lahan atau konsesi (onderneming).

A. Mencoba Keberuntungan: Perkebunan Kopi di Mento Toelakan (1863-1897)

    Perkebunan Mento Toelakan memiliki luas 1.416,5 bouws atau sekitar 1.048,21 ha. Kawasan perkebunan Mento Toelakan berada di lereng kaki Gunung Lawu dengan ketinggian 600 kaki pada salah satu sisinya. Onderneming Mento Toelakan memiliki karakter tanah lempung merah atau coklat. Namun demikian, kontur dari perkebunan ini tidaklah rata karena terdiri dari lereng dan dataran rendah.'” Berdasarkan kondisi geografis, Mento Toelakan  dianggap cocok untuk ditanami kopi.  Pada tahun 1869 perkebunan Mento Toelakan dilaporkan menghasilkan Tembakau  namun pada tahun 1870 laporan menunjukan Minto Toelakan adalah tanaman kopi Antara 1875 sampai 1876 telah terjadi perubahan  penyewa Onderneming Mento Toelakan. Pengelolaan Perkebunan diambil alih oleh P.W.G. Gout.'Gout merupakan salah satu pengusaha perkebunan kopi kenamaan d Jorstenlanden. Usaha perkebunan Gout rupanya semakin berkembang. ada 1871, Gout memiliki beberapa perkebunan kopi d rea Vorstenlanden, di antaranya Pagerdjoerang, Pakem, Tin, Poeloe, dan Kajoeapak." Pada 1885, P.W.G Gout tercatat sebagai pemilik perkebunan kopi Mento Toelakan, Pakem, Tiris, dan Assemlepie. Penyebab penurunan produksi kopi di Hindia-Belanda pada Wiode itu adalah penyakit karat daun (Hemileia vastatrix).  Dan serangan pantogen menyebabkan kopi jatuh pada periode 1882-1886 hal ini kemudian disiasati oleh Gout dengan tanaman komoditas lain seperti rerumputan dan indigo. Sementara itu, Onderneming Mento Toelakan yang dikuasai oleh pewaris P.W.G. Gout dibeli oleh J.C. Buwalda dengan nilai f 6.540. Seluruh aset perkebunan Mento Toelakan seluas 1416,5 Bau berpindah kepemilikan

                Usaha penanaman tembakau di Mento dibarengi dengan pembangunan gudang. Pada 1889, perkebunan Mento Toelakan dilaporkan memiliki tiga buah gudang tembakau. Laporan in menunjukkan, kawasan perkebunan Mento Toelakan sudah mula mengalami perubahan orientasi tanaman perkebunan dari kopi ks tembakau. Pada 1890, P. Buwalda mulai mengurus perkebunan Mento Toelakan sebagai administrator. Namun, perkebunan masih dimiliki oleh J. C. Buwalda. Baru pada 1893, P. Buwalda tercatat sebagai ondernemer sekaligus administrator — Onderneming Mento Toelakan namun Pada 1895, P. Buwalda tidak bisa mengelola Mento Toelakan sendiri secara langsung karena sibuk mengurus banyak perusahaanerkebunan di Jawa Tengah dan Jawa Timur baik sebagai direktur, omisaris, atau pun administrator. P. Buwalda menunjuk C. F. W.K. Happe sebagai administrator untuk mengatur perkebunan kopi di Mento Toelakan. Happe menjabat sebagai administrator perkebunan Mento Toelakan sampai 1901. Sebelum menduduki kursi administrator Onderneming Mento Toelakan, Happe merupakan pegawai yang bekerja untuk Hijgen de Raadt di Demak. Happe ialah anak F. Happe yang merupakan anggota Raad yan Indie."

B. Masa Transisi: Dari Kopi ke Serat (1897-1910)

    Pada tahun-tahun pertama menjabat, C. Happe tidak banyak melakukan perubahan. Ondernemer Mento Toelakan masih nyamay dengan rimbunnya pohon-pohon kopi.” Akan tetapi, Onderneme Mento Toelakan mulai memikirkan tanaman komoditas lain untuk menggantikan tanaman kopi yang kurang memberi keuntungan Perkebunan mulai membudidayakan tanaman komoditas lain pada 1897. P. Buwalda ingin mencoba tanaman kakao dan tanaman serat ,Kakao dan kapuk menjadi tanaman pendamping kopi. Selain kakao dan kapuk, Happe, selaku administrator melakukan penanaman lada pada sekitar 1899. Rencananya, proyek pengembangan tembakau di Mento Telakan dimulai pada 1 Juni 1898. Pihak perkebunan Mento Tbelikan menawarkan gaji F 100 per bulan dan juga prosentase hasil Moduksi yang akan dinegosiasikan oleh kedua belah pihak,  membudidayakan tembakau di Mento Toelakan diwujudkan pada masa akhir kepemimpinan C. Happe sebagai administrator perkebunan pada 1901.

    Pada masa Onken, pemikiran untuk menjadikan Mento Toelakan sebagai sentra perkebunan serat mulai mengemuka. Kopi dianggap kurang cocok untuk ditanam di wilayah ini. Tanaman serat dinilai tidak membutuhkan banyak air dan bisa tumbuh subur di lahan yang kering. Perawatan tanaman serat juga tidak sesulit kopi. Oleh sebab itu, Onken mulai menguji coba atau beberapa jenis tanaman serat. Kapuk yang sudah dibudidayakan terlebih dulu mulai dimaksimalkan. Serat nanas (Agave sp) mulai ditanam di perkebunan Mento Toelakan. Budidaya kedua jenis serat tersebut mengindikasikan usaha dari pemilik modal dan administrator untuk menggantikan tanaman kopi yang kurang menguntungkan brankas perusahaan. Pembudidayaan kapuk dan penanaman serat nanas menjadi penanda peralihan komoditas utama perkebunan Mento Toelakan. Pada 1905, tanaman kopi yang merupakan komoditas utama digantikan sisal salah satu jenis serat nanas membudidayaan tanaman komoditas  perkebunan Mento Toelakan yang tidak rata, Tanaman koi dibudidayakan di daerah ketinggian, sedangkan untuk dataran rendah litanami Agave sp atau serat nanas

C. Masa Kejayaan: Veret Onderneming Mento Toelakan (19191942)

    Pada periode 1910an, perkebunan Mento Toelakan memasuki babak baru. Tanaman kopi disingkirkan. Lahan seluas seribu hektar dimaksimalkan untuk pembudidayaan serat nanas. Mento Toelakan hanya fokus untuk mengembangkan produksi berbagai jenis serat kwaliteit (kualitas) bagus. Di bawah kendali perusahaan Buwalda, perkebunan ini, menjelma menjadi Vezel Onderneming Mento Toelakan. Vezel Onderneming Mento Toelakan perlu mengembangkan beberapa varietas serat untuk menemukan hasil serat terbaik. Sent: serat tersebut bisa juga dijadikan sebagai bahan campuran olahan serat nanas (Agave sp) yang menjadi tanaman komoditas utama perkebunan ini. Terdapat juga jenis serat yang mendapat grade terbaik pada 1911, yaitu serat nanas dan serat yute jawa." Agar dapat mempertahankan predikat penghasil serat terbaik, perkebunan Mento Toelakan menanam tiga jenis serat nanas atau agave sp Ketiga jenis Agave sp memiliki karakter atau ketahanan dn hasil yang berbeda-beda. Tiga jenis Agave sp yang ditanam di Perkebunan Mento Toelakan di antaranya Agave rigida, Agave cantala dan Agave sisalana. Agave cantala memiliki karakteristik kbih bandel dan berumur panjang, sedangkan Agave sisalana lebih menghasilkan serat.

    Pada 1924, administrator perkebunan berganti. P. W. C. Blankwaardt '” yang memiliki banyak pengalaman dalam kepengurusan perkebunan di Jawa, diangkat sebagai administrator. Blankwaardt merupakan administrator handal. Ia juga memiliki relasi yang luas, apalagi ia merupakan anggota Theosofi sekaligus Freemasonry, dua organisasi yang diikuti tokoh-tokoh besar di Hindia Belanda, Eropa, dan dunia? Relasi yang dimiliki Blankwaardt sangat dibutuhkan untuk mengembangkan roda bisnis Onderneming Mento Toelakan. Kepiawaian Blaankwaard memimpin. Hal ini menyebabkan Minto toelakan ingin merekrutnya, Namun sayang Blankwaardt meninggal sekitar tahun 1930. Berkat Blankwaardt Minto Toelakan mengalami peningkatan popularitas sebagai penghasil serat terbaik. Kemudian posisi Blankwaardt digantikan ole A. Murder setelah kematian Blankwaardt sebagai administrator terakhir sampai perusahaan Onderneming Mento Toelakan jatuh ketangan jepang sekitar tahun 1942 seiring kependudukan Jepang Minto Toelakan mulai ditinggalkan dan menjadi kenangan

 

 

 

 

 

 

 

Minggu, 27 Juni 2021

 



Identitas Buku

ONDERNEMING MENTO TOELAKAN (Dinamika Perkebunan Serat di Pinggiran Wonogiri 
( 1897-1996)

Judul Buku : Onderneming Mento Toelakan (Dinamika Perkebunan Serat di Pinggiran Wonogiri 1897-1996)

Penulis : Dennys Pradita, Adi P.S. Wardhana, Meilinia Fathonah, Siti Rhohana, Hany Nurpratiwi, Afriani Nurhastuti, Toni Prasetyo, Efel Indhurian

Nama Penerbit : Lakeisha (Anggota IKAPI No. 181/JNE/2019)

Ketebalan Buku : 14,8 cm x 21 cm, 147 halaman

Tahun Terbit : 2021

ISBN : 978-623-6948-88-0

Editor : Adi P.S. Wardhana dan Dennys Pradita

Layout : Yusuf Deni kristanto, S.Pd

Desain Cover : Dennys Pradita, M.A.

Gambar Cover : Koleksi Univ. Leiden

Cetak 1 Maret 2021

Redaksi
Jl. Jatinom Boyolali, Srikaton, Rt.003, Rw.001, Pucangmiliran, Tulung, Klaten, Jawa Tengah Hp. 08989880852, 
Email: penerbit_lakeisha@yahoo.com Website : www.penerbitlakeisha.com


BAB III " Perusahaan dan Perkebunan Serat di Hindia Belanda "

BAB III


Perusahaan dan Perkebunan Serat di Hindia Belanda

Serat yang merupakan komoditas ekspor Hindia belanda, serat ini snagat dibutuhkan sebagai bahan pembuatan beragam kerajinan. selain itu jenis serat juga menjadi kebutuhan penting pada masa kolonial. Namun demikian setelah berbagai kajian tentang tanaman komoditas di Vorstenlanden tanaman serat nanas yang paling minim dibicarakan sebab kalah pamor dengan tanaman seperti kopi, teh, dan tebu.

A. Komoditas Serat di Hindia Belanda

    Serat di hindia belanda di bagi menjadi beberapa bagian yakni serat keras dan serat halus. meskipun tanah Jawa subur namun produkis serat kurang maksimal sebab penguasaha masih terfokus pada produksi kopi, gula serta tembakau.serat diklasifikasikan menurut kegunaanya antara lain; serat untuk kertas diproduksi dari serat nanas ini yang telah mengalami proses pengelolaan. menurut van iterson ada dua jenis Agave yang dibudidayakan yakni Agave sisalana dan Agave cantala roxburgh kedua jenis serat ini menghasilkan serat keras. untuk tanaman Agave sisalana diperkenalkan mulai awal tahun 1913. Agave sisalana tidak hanya dikembangkan di hindia belanda tetapi juga di kembangkan di Bahammas,Hawai, dan Afrika Timur sementara Begal dan Amerika Tengah dikembangkan dalam skala kecil. Agave sisalana akan mati dalam 5 - 10 tahun sedangakan Agave cantala setelah 10-15 tahun. Agave sp dapat dibudayalandi tanah yang subur dengan iklim yang tidak pda curah hujan yang tinggi,

    Sementara serat untuk serat Abaca dimanfaatkan untuk tujuan dalam pembuatab tali dan kertas di dalam penduduk lokal Filiphina. serat ini berasal dari Wiliam Dampier seprang navigator di inggris yang tinggal di Mindanao selama bertahun-tahun. Abaka sendiri adalah tumbuhan perdu yang mencapai ketinggian 8 hingga 10 kaki dengan diamater di pangkal antara 6-20 inchi. Namun Menurit W. Balley dan F. Tobler peyebutan rami Manila yang umumnya digunakan untuk tanaman dan serat dirasa kurang tepat. dibandingkan dengan Agave sisalana serat abaka lebih unggul dalam kegunaanya, tali serat abaka dapat mengapung diatas air dalam waktu yang lama. Ekspor abaka tidak dapat dilakukan sebelum abad 19 serta mencapi puncaknya menjelang tahun 1850an. Untuk memenuhi permintaan serat abaka yang sangat besar mulai didirikan perkebunan abaka di wilayah negara tropis khusunya Hindia Belanda, di Hindia Belanda muncul penanaman serat abaka dalam skal kecil di jawa dan sumtra pada tahun 1905. Budidaya serat abaka berkembang pesat pada tahun 1911 dengan jumlah perusahaan produksi lebih dari 200 ton serat abaka. Walapun demikian Hindia Belanda tidak mampu menyaingi produksi Filiphina

    Meskipun Filipina mampu mempertahankan kualitas produknya dibandingkan Jawa, namun Filipina juga pernah memperoleh reputasi industri serat abaka yang buruk. Reputasi tersebut diperoleh tidak lama setelah 1900. Untuk memperbaiki kondisi ini, legislative berdasarkan pendapat pabrik asing serta ketidakpuasan yang terjadi Filipina pada 1914 mengesahkan Undang-undang No. 2380 "Undang-Undang yang Mengatur Pemeriksaan, Penilaian, dan Baling dari Abaca (Rami Manila), Maguey (Cantala), Sisal dan Serat lainnya yang didasarkan pada warna, kekuatan tarik dan kebersihannya. Berdasarkan undang-undang ini, penilaian serat abaka baik untuk memperbaiki kondisi kelangkaan serat dari Filipina. Undang-undang tersebut dapat diimplementasikan dengan cukup. Dengan demikian, keberadaan undang-undang tersebut memperkuat serat abaka dibandingkan dengan Jawa. pernyataan bahwa Filipina mampu menjaga reputasi dalam ekspor.

💥Serat Sikat

    di Hindia Belanda, terdapat serat flapper dan serat aren yang akan diolah menjadi barang bernilai berupa serat sikat. Pada coir fiber". Sedangkan, orang Belanda menyebut kelapa sebagai umumnya, serat flapper disebut oleh orang Inggris sebagai " klapper”. Serat kelapa dapat dimanfaatkan sebagai serat sikat yang berguna untuk alat-alat rumah tangga. Permintaan akan serat flapper meningkat secara pesat pada abad XIX. Serat ini mempunyai keunggulan dalam hal elastisitas Yang disertai dengan kemampuan daya tahannya yang tinggi, baik di udara maupun di dalam air. Serat flapper pada awal abad XX dihasilkan dari Ceylon( srilanka )india bagian selatan yang masa itu dikuasi Inggris. Pada 1896, sedangkan Hindia Belanda yang menghasilkan koprah melampaui India tidak menghasilkan produksi serat flapper. Bahan baku serat berikutnya yakni serat aren ( Aranga Saccharifera ) mempunyai ketahanana yang tinggi terhadap air. Serat ini dimanfaatkan oleh penduduk lokal untuk tujuan tertentu. Namun terdapat permintaan khusus dari eropa mengenenai serat sikat ini. Serat aren tumbuh liar teersebar di seluruh Hindia Belanda dan juga terdapat di penduduk lokal yang menggunakan aren sebagai gula dan sagu. Pada abad XX terdapat 2 pabrik kecil di jawa yang mengelola sera aren dalam hal pembersihan ,penyortiran, dan pengemasan tetapi usaha ini belum berhasil.

💥Serat untuk Bahan Tekstil

    Serat yang dihasilkan dari Hindia Belanda juga dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dalam tekstil untuk memuhi kebutuhan dalam produksi tekstil diantanya serat rami, kapas, dan serat yute. Serat kapas sendiri telah dibudidayakan dijawa pada paruh waktu kedua abad XVIII dibandingkan dengan abad XIX. Jumlah produks kapas Hindia Belanda sangat sedkit dibandingkan negara lain. Selain kapuk juga terdapat serat rami yan disebut dengan serat india merupakan serat kayu dari beberapa varietas Boehmeria nivea , kelemahan serat rami terletak pada tingkat kerapuhan serta kemampuan bersaing dengan serat rami China., untuk itu tidak ada ekspor rami di Hindia Belanda. Selanjutnya serat alam yakni serat yute yang hanya tumbuh di delta Gangga serat ini digunakan sebagai bahan pembuatan karung goni.

💥Serat Bahan Pengisi Material

    Serat ini dihasilkan dari kapuk dan tanaman sutra. Ekspor kapuk pada tahun 1900 sekitar 3.500 ton sedangkan tahun 1935-1936 mencapai 24.600 ton lonjakan ini disebakan serat kapas ringan terhadap kelembapan. Selain itu terdapat pula serat yang dihasilkan dari tanaman sutra yakni dibudidayakan di Hindia Belanda. Umunya serat ini tidak terlalu banyak permintaan sebab ketahana lebih rendah dibandingkan dengan kapuk.

💥Serat Bahan Ayaman

    yang diantaranya rotan, bamboo, pandan, serta puron. Serat anyaman salah satunya roran merupakan komoditas penting di hutan. Pada 1914 Hindia Belanda mulai mgekspor lebih dari 42.000 ton yang diantaranya dihasilkan daerah Sumatra 10.000 ton, Sulawesi 20.000 ton, Kalimantan 12.000 ton. Dari skian special rotan yang paling utama bergenus Calamu yang paling banyak di produksi. Selain itu terdadapat serat bambu yang di ekspor dalam bentu topi di Hindia Belanda . ada juga serat pur pandan juga mucul sebagai barang ekspor kemudian Hindia Belanda juga menghasilkan serat Puron (Lepironia Mucronata Rich ) tanaman serat ini menghasilkan tikar.

💥Serat Untuk Kertas

  Terdapat banyak serat yang dihasilkan di Hindia Belanda yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan penduduk loka maupun dikmbangkan secara massif untuk memenuhi tuntutan pasar internasional. Jka meninjau buku yang ditulis oleh Dr.J. Stroomberg yang berjudul “Handbook of Netherlands East-Indies 1930 membahas serat yang telah dierjemahkan oleh Hery Apriyono menyebutkan Fiber sebagi kapul jika berkaca pada tulisan van iterson serat di Hindia Belnda tidak hanya kapuk saja melainkan berbgai jenis serat

B. Perkebunan Serat Di Hindia Belanda

    Produksi serat Penting dalam masa menghasilkan berbagai barang yang bernilai tinggi. penduduk Hindia Belanda tidak lagi menghasilkan serat untuk kepentingannya sendiri melainkan memenuhi kebutuhan ekspor yang sangat menguntungkan. Dengan berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda melalui kekayaan alam yang berlimpah serta kondisi alam yang mendukung. Disi lain pihak swasta untuk mencari pundi-pundi keuntungan dari daerah kolonial. Salah satu caranya adalah dengan mengenalkan budidaya tanaman ekspor yang laku di pasar internasional kepada penduduk lokal. Di Pulau Jawa, serat dihasilkan dari berbagai perusahaan tersebar di berbagai daerah. Di Jawa Barat, khususnya daerah Tjikalong, terdapat dua perusahaan pengolah tanaman serat. Pertama, perusahaan milik Thung Bouw Lim di Ngalindoeng yang mempunyai luas perkebunan mencapai 162 bahu dan menghasilkan produk dari tanaman serat. Kedua 22 juni 1982 terdapat perusahaan handel en cuktuurmaatschappij ip kiat tepatnya di Bandungan III dengan luas prkebunan 161 bahu sebagi penghasil serat dan tanaman teh. di Tjibagoeng tepatnya daerah Njalindoeng terdapat perusahaan milik Thung Bouw Lim dengan luas perkebunan 162 bahu berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Lia Nuralia, ditemukan 48 perkebunan dengan tanah hak guna usaha di Karesidenan Karawang. Perkebunan ini tersebar di berbagai daerah, di antaranya 14 perkebunan di distrik Purwakarta, 1 perkebunan di Cikampek, 1 perkebunan di Karawang dan 21 distrik Segalaherang, Subang dan Pamanukan. 21 perkebunan di tiga distrik milik P.P Tanah Pamanukan dan Ciasem. perkebunan tersebut memiliki luas mencapai 32.613 bahu. Hampir seluruh perkebunan menempatkan karet dan teh sebagai komoditas utama. Sementara itu, salah satu perkebunan yang terletak di Sukaman di Karesidenan Karawang ditanami penghasil serat seluas 6.000 bahu. Namun, kurang jelas apakah seluruh lahan memang ditanami serat atau hanya sebagian saja karena perkebunan ini komoditas utamanya adalah karet dan teh."









di Jawa Tengah terdapat beberapa perkebunan yang menghasilkan serat Pertama, di Mendalan, Sragen tepatnya di Modjo Sragen berdiri perusahaan J. Caspersz Cultuur Maatschappij milik P. A. Jut dan Bourghelle. Perusahaan ini menghasilkan kapuk dan beberapa jenis lain diantaranya adalah tembakau, gula, kopi, padi dan karel. Kedua, perusahaan Cultuur-Maatschappij Tarik milik F.H. Tiedeman tepatnya di Ngaroem yang menghasilkan serat kapuk dan beberapa serat lainnya. Tanaman komoditas lain yang dihasilkan dari perusahaan ini adalah padi, kopi, karet, kina, pala dan lada. Ketiga, perkebunan milik J.J. Oxenaar O.P. W. Moyma di Karaban juga menghasilkan serat selain padi dan karet. Keempat, perusahaan Houtaankap en Cultuurmaatschappij Kedoengbanteng di Kedoeng Banteng milik J. Schafer yang menghasilkan serat nanas dan kapuk. Perusahaan ini juga menghasilkan produk kayu dari penebangan hutan. Kelima, perusahaan Cultuur-Maatschappij Moenggoer Pereng di Moenggoer Pereng milik J. F. Hora Siccama. Menghasilkan kapuk dan serat. Selain itu menghasilkan tanaman lain seperti padi, kopi, karet Di Pekalongan, Jawa Tengah terdapat perusahaan Bananen Cultuurmaatschappij milik J.J. Binendijk yang terletak di lain seperti padi, pisang dan kulit pisang. Di sisi lain, Batang yang saat itu menjadi Karesidenan Pekalongan juga terdapat perusahaan Bananen tepatnya di Ponowareng. Demak juga terdapat perusahaan Vennootschap kapok: olie en zeepfabriek Randoe milik M.F.J Gritters-Doublet yang menghasilkan serat kapuk dan kapas serta tanaman lain, yaitu kopra.

    Sementara itu, Mangkunegaran membuka usaha perkebunan kapuk randu di Wonogiri setelah reorganisasi agraria 1912. Usaha kapuk randu yang dijalankan oleh Mangkunegaran di Wonogiri tidak berjalan lama. Pada 1923, perkebunan kapuk randu di Wonogiri ditutup karena tidak menghasilkan sesuai harapan. Namun, Praja Mangkunegaran kembali mengupayakan budidaya serat perkebunan Mojogedang. Mojogedang berada di bagian bawah Perusahaan Kopi Kerjogadungan. Kedua perusahaan ini dipimpin oleh dua administrator yang sama. Pada tahun 1919, daerah persemaian seluas enam belas hektar dibangun untuk mengembangkan tanaman budidaya yang dimiliki. Pada 1920-1921, tanaman serat nanas dibudidayakan di lahan seluas 140 hektar. yang Secara bertahap, daerah penanaman serat nanas tersebut selalu mengalami perluasan dan mencapai puncaknya pada 1932. Setelah menunjukkan hasil, pada 1922 pabrik serat nanas setahun kemudian Jenis tanaman serat yang dikembangkan di didirikan. Pabrik tersebut mulai beroperasi dan berproduksi Mojogedang adalah serat Agave cantala dan Agave rigida. Perusahaan serat nanas Mojogedang merupakan penghasil bahan baku tekstil dan tali.




















    Melangkah ke Jawa Timur terdapat banyak perusahaan yang menghasilkan serat. di Ngawi memilki beberapa perusahaan yang penting sebagai pemasok serat utamanya di wilayah di Ngrambe. yang pertama sekitar tanggal 28 April tahun 1880 tepatnya di daerah Ampel berdiri perkebunan milik H.M.M Rappard Ruttering sekitar 137 Bahuyang menghasilkan kopi dan akar wangi . Kedua, sekitar 18 Februari 1875 tepatnya di Blaboer, terdapat perkebunan seluas 120 bahu dan di Jamoes dengan luas perkebunan 516 bahu berdiri perkebunan yang dimiliki Rappard Rutering. Jenis tanaman yang dihasilkan yaitu serat nanas dan tanaman lain seperti kopi dan akar wangi. Ketiga, pada 2 Maret 1876, tepatnya di Gendoro, dengan luas perkebunan 492 bahu berdiri perkebunan milik para pewaris H.M.M Rappard Rutering yang dikelola Tjan Biauw Djan dan O. E. Mariano sebagai administrator. Jenis serat yang dihasilkan yaitu Agave sp dan tanaman lain yang dihasilkan yaitu kopi dan akar wangi. Keempat, tanggal 8 Februari 1879 tepatnya di Gondang dengan luas perkebunan 227 bahu berdiri perkebunan yang juga dikelola para pewaris H.MM Rappard Rutering dengan administrator Tjan Biauw Djan dan O. E. Mariano. Perkebunan ini membudidayakan serat nanas, kopi, dan akar wangi. yang Kelima, pada 15 September 1893 tepatnya di Poerwantoro berdiri perusahaan P. L. en J. N. Wolff dengan luas perkebunan 30 bahu. Perkebunan ini menghasilkan serat nanas, padi, jagung, dan akar wangi.
    
    Beralih ke daerah lain yang berada di Jawa Timur, yakni Kediri. di Kediri, banyak perusahaan serat yang didirikan, utamanya di Pare. Terdapat perusahaan Handelsvereeniging Amsterdam dengan administrator J.F. Hajel yang menghasilkan jenis serat yaitu serat nanas dan kapuk. Sedangkan, perkebunan ini juga menghasilkan produk lainnya seperti kopi, kakao, karet dan bambu. yang pertama terdapat di Djengkol I yang berdiri pada 26 Maret 1878 dengan luas perkebunan 500 bahu. Yang kedua, di Djengkol II yang berdiri pada 19 Maret 1888 dengan luas perkebunan 443 bahu. yang ketiga, di Djengkol III yang berdiri pada 23 September 1889 dengan luas perkebunan 118 bahu. yang Keempat di Djengkol IV dan VI berdiri pada 5 April 1892 dengan luas perkebunan 434 bahu. Yang kelima, di Djengkol VII berdiri pada 13 Mei 1894 dengan luas perkebunan 35 bahu. di Pare juga ditemukan perusahaan Handelsvereeniging Amsterdam dengan administrator Diephous yang menghasilkan , Serat dan tebu. Di wilayah Dermo I yang didirikan pada 29 November 1886 memiliki luas perkebunan 546 bahu. Di Dermo II-III yang didi pada 17 Januari 1891 memiliki luas perkebunan 71 bahu. di Wilayah Dermo IV yang didirikan pada 27 Juni 1893 memiliki luas perkebunan 28 bahu. Terdapat perusahaan Handelsvereeniging Amsterdam dengan, administrator J. F. Hajel di Pare yang menghasilkan serat nanas serta kopi. Di Kalasan I yang berdiri pada 27 Januari 1890 memiliki, perkebunan mencapai 334 bahu. Di Kalasan II yang berdiri pada November 1889 memiliki luas perkebunan mencapai 79 bahu, D Kalasan III yang berdiri pada 25 April 1890 memiliki perkebunan mencapai 1471 bahu. Selain tiga perusahaan di atas, di Pare juga ditemukan perusahaan N. V. Handelsvereeniging Amsterdam dengn administrator C. M. Graafland yang menghasilkan serat nanas, kopi, kakao dan lada. diKarangdinojo I-II yang didirikan pada 19 Oktober 1890 memiliki luas 573 bahu. Di Karangdinojo III yang didirikan pada 15 November 1890 memiliki luas perkebunan 62 bahu. Di Karangdinojo IV yang didirikan pada 8 Februari 1897 memiliki luas 119 bahu. Di Karangdinojo V yang didirikan pada 10 Maret 1899 memiliki luas 166 bahu. Terakhir, di Karangdinojo VI yang didirikan pada 11 Februari 1910 memiliki luas 9 bahu.

    Berlanjut dengan wilayah di Blitar juga ditemukan perusahaan serat yang dimiliki N.V. Handelsvereeniging Amsterdam dengan administrator H. W. Dikkers yang menghasilkan serat nanas dan kapuk randu. Selain itu, perusahaan ini juga menghasilkan produk lain, yaitu kopi, kakao, lada dan singkong. Di Kalitjilik I yang didirikan pada 31 Januari 1881 memiliki luas perkebunan 266 bahu. Di Kalitjilik II yang didirikan pada 15 Maret 1886 memiliki luas perkebunan 37 bahu. Di Kalitjilik III yang didirikan pada 6 & November 1980 memiliki luas perkebunan 48 bahu. di Kalitjilik IV yang didirikan da 10 Mei 1892 memiliki luas perkebunan sekitar 54 bahu. Di Kalitjilik IV didirikan pada 13 Januari 1898 memiliki luas perkebunan 11 Bahu. Di Kalitjilik VI yang didirikan pada 7 Maret 1899 memiliki was perkebunan 301 bahu. Di Kalitjilik V yang didirikan pada 10 Februari 1897 memiliki luas perkebunan 42 bahu. Di Srengat, Blitar juga terdapat perusahaan yang berdiri pada 10 Februari 1997 tepatnya di Kali Gambang berdiri perusahaan Java Hennepcultuurmaatschappij yang menghasilkan produk berupa serat nanas. Beralih ke daerah Banyuwangi, terdapat dua perusahaan yang memasok serat, yaitu perusahaan Firma E. Moorman & Co. yang diambil alih Th. H. Mae Gillavry dan perusahaan Cultuur Maatschapppij Djolondoro. Pertama, Perusahaan Firma E.Moorman & co. milik Th Mae Gillavrv di Pasewaran I yang didirikan pada September 1894 memiliki luas perkebunan mencapai 1.667 bahu. Di Pasewaran II yang didirikan pada 28 September 1894 yang memiliki luas perkebunan mencapai 419 bahu. Kedua, perusahaan Cult. Mij Djolondoro yang berdiri pada 7 Juli 1889 di Bogojampi memiliki luas perkebunan mencapai 1049 bahu. Perusahaan ini menghasilkan serat dan tanaman lain berupa kopi.


    Beberapa perusahaan yang telah disebutkan di atas menjadi saksi atas keberadaan pusat-pusat pengembangan serat yang tersebar di Pulau Jawa. Terdapa indikasi produksi serat tersebut telah menunjukkan peranan penting penduduk Hindia Belanda dalam memasok permintaan serat yang terus mengalami peningkatan. Lonjakan hasil pertanian dan perkebunan membuat makin banyak perusahaan dan perkebunan serat didirikan sejak akhir abad XIX hingga awal abad XX sebagai man perusahaan-perusahaan Mento Toelakan yang berada di Wilayah Wonogiri Meskipun berada di wilayah Mangkunegaran penguasa Mento Toelakan justru berada di tangan pemodal swasta. Mento Toelakan merupakan salah satu perusahaan penghasil serat di Hindia Belanda yang sukses

Senin, 14 Juni 2021

 BAB II 

Tanah Persewaan Di Bumi Vortstenlanden 

💨Masa Perintisan (1817-1830)

   berdasarkan perjanjian giyanti 1755 , Kerajaan Mataram Surakarta diwajibkan untuk memberikan sebagian wilayahnya kepada Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengkubuwana I). Sunan, Sultan, dan Adipati Mangkunegara sebagai pemilik seluruh tanah berhak untuk membagi-bagikan tanah kepada siapapun sesuai kehendaknya. Penetapan luas lahan didasarkan pada kedudukan dan kedekatan dengan penguasa.Para patuh (pejabar istana) atau apanagehouder berhak untuk mewariskan tanah-tanah apanage kepada garis keturunannya sampai generasi keempat. Semakin banyak jumlah keturunan, semakin komplek permasalahan pembagian luas lahan. Lahan-lahan yang harus dibagikan menjadi berlipat-lipat sesuai dengan pertumuhan jumlah anggota keluarga penerima apanage. Dalam sistem apanage, muncul para pejabat yang bertugas sebagai pemungut pajak, yaitu bekel. Pengolah lahan dalam sistem apanage adalah para sikep atau petani penggarap sawah (narakarya), yaitu penduduk yang tinggal diwilayah kabekelan tersebut. Sikep harus menyetor pajeg (pajak) kepada para bekel. Para bekel membayar pajak kepada patuh. Mereka juga diberi target tertentu oleh para patuh sehingga beban petani (sikep/narakarya) menjadi lebih berat. Antara patuh dan bekel menerapkan system bagi hasil, bisa maron (bagi dua/50%) ataupun mertelu (bagi tiga). Bekel dan sikep (narakarya) juga menggunakan system bagi hasil. Apabila bekel menggunakan sistem maron, 2/5 hasil garap apanage diterima oleh narakarya, 2/5 diterima oleh patuh sebagai pajeg (pajak), dan 1/5 diterima oleh bekel. Pada abad XVIII, banyak lahan di Vorstenlanden disewakan kepada orang-orang Tionghoa. Pada akhir abad XVIII, para residen pertama ikut menyewa lahan-lahan apanage. Memasuki abad XIX, Thomas Stamford Raffles selaku Letnan Gubernur Jawa (1811-1816) memperkenalkan sistem sewa tanah yang disebut sebagai landrent.

    Persewaan ini dapat memberikan keuntungan bagi pemerintah colonial untuk segera melunasi hutang-hutang negara yang menjadi beban. Nahuijs van Burgst menambahkan, penyewaan lahan kepada perorangan akan membuat banyak lahan tandus menjadi subur. Burgst juga berargumen bahwa lahan-lahan yang dikelola penyewa tanah menghasilkan panen yang lebih besar daripada lahan-lahan yang dikelola oleh bumiputera (penguasa lokal). Nahuijs van Burgst mengklaim, orang jawa lebih senang berada dibawah para penyewa lahan eropa daripada dibawah pemerintah sekalipun. Pemodal Eropa akan meningkatkan nasib para penggarap lahan sehingga isa meminimalisir terjadinya pemberontakan.

    Pada 6 juli 1823, Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. Baron van der Capellen (1816-1826)  mengeluarkan sebuah peraturan yang melarang persewaan tanah di Vorstenlanden amun demikian, dasar pertimbangan Capellen yang menghapus izin sewa bukan hanya soal penyelewengan praktik, tetapi lebih didasarkan pada penurunan pendapatan pemerintah Kolonial.  


💨 Masa Tarik Ulur Sewa Tanah (1830-1912)

     Selama masa perintisan, modal-modal asing masuk secara massif kewilayah Vorstenlanden tanpa bisa dibendung. Penyewaan lahan dipraktekkan dengan system feodal yang makin mengakar kuat. Gubernur Jenderal merasa kolonial tidak memperoleh keuntungan signifikan dari penyewaan tanah di Vorstenlanden. Itulah sebabn Pada 1830-an, ekonomi perkebunan Kembali menggeliat. Persewaan tanah apanage memunculkan istilah bekel putih dan bekel cina. Bekel putih adalah penyewa tanah berkebangsaan Eropa yang membayar pajak dan menanggung semua kewajiban sikep di lahan sewaanya, Capellen mengevaluasi system sewa tanah pada masa perintisan.Pada 1890, mulai terjadi banyak perubahan dalam kehidupan para priayi yang lahan-lahannya disewakan. Mereka mulai merakan efek negatif dari sistem sewa tanah karena kehilangan lahan-lahan produktif. Mereka dibuai oleh kesenangan sesaat oleh uang sewa yang cepat habis untuk dibelanjakan. Para penyewa tanah mulai sering mengalami permasalahan dengan pemegang dan pemilik tanah.

    Pada 1890, mulai terjadi banyak perubahan dalam kehidupan para priayi yang lahan-lahannya disewakan. Mereka mulai merakan efek negatif dari sistem sewa tanah karena kehilangan lahan-lahan produktif. Mereka dibuai oleh kesenangan sesaat oleh uang sewa yang cepat habis untuk dibelanjakan. Para penyewa tanah mulai sering mengalami permasalahan dengan pemegang dan pemilik tanah. Pada 1882, didirikan De Vereeniging van Solosche landhuurders te Soerakarta (Perkumpulan Penyewa Tanah Sala di Surakarta), dan berganti nama menjadi Solosche Landhuurders Vereeniging (Perkumpulan Penyewa Tanah Solo) pada 1909. Perkumpulan ini dimanfaatkan untuk menghimun kekuatan saat terjadi sengketa dengan penguasa lokal sehinnga menghasilkan kejayaan pada pemodal pihak swasta terhadap emilik tanah meskipun hanya penyewa

 ðŸ’¨Masa Reorganisasi Agraria (1912-1927)

    Masa reorganisasi agararia yakni  periode  dimana eksekusi rencana-rencana yang telah dibuat selama masa tarik ulur. Pada 1912, Gubernur Jenderal secara resmi meminta Sunan untuk tidak memperpanjang kontrak sewa tanah lebih dari sepuluh tahun. Saat reorganisasi segera dilaksanakan, Residen van Wijk digantikan oleh Sollewijn Gelpke. ebijakan penghapusan tanah apanage dimulai pada 1917. Per 1 januari 1918, semua lahan apanage di Karesidenan Surakarta dihapus. Seluruh reorganisasi tanah di Karesidenan Surakarta selesai pada 1927, Bagi penguasa lokal, reorganisasi ini telah menurunkan wibawa dan kuasa atas wilayah yang menjadi miliknya. Penguasa lokal tidak lagi memiliki kekuasaan untuk menarik tanah yang ada diwilayahnya karena harus mendapat persetujuan pemerintah kolonial. Bagi penguasa perkebunan, reorganisasi memberikan jaminan yang kuat, apalagi didukung oleh pemerintah kolonial di Karesidenan Surakarta. Beragam fasilitas modern dibangun guna kepentingan kaum kapital. Pembangunan dilakukan demi mensejahterakan kawula, meskipun hasilnya lebih banyak dinikmati oleh para sentana.


OENDERNEMING MENTO TOELAKAN
Dinamika Perkebunan Serat Di Pinggiran Wonogiri 1897-1996


BAB I

OENDERNEMING MENTO TOELAKAN
    berisi tentang dinamika perkebunan serat di (Pinggiran wonogiri 1897-1996 ). di wilayah surakarta yakni kasunan dan mangkunegaran terjadi spirit kapitalisme ditandandai dengan maraknya penananaman perkebunan seprti kina,kopi ,teh, tebu, dll yang menjadi komoditas agraris utama perekonomian wilayah ini. Spirit kapitalisme ini pun bergolak pada diri KGPAA Mangkunegara IV yang memulai memutuskan  untuk menghapuskan tanah lungguh para pangeran dan bangsawan Mangkunegarawan namun gagal pada tahun 1856. akan tetapi kegagalan tersebut tidak mematahkan niat adipati untuk mengusahakan tanah yang dimilkinya sendiri.hingga beliau berupaya menggunakan sistem gaji kepada para bawahannya dengan rakyat diharuskan menanam tanaman komoditas yang sudah ditentukan oleh praja. kebijakan mangkunegaran IV ini berhasil mendulang kekayaan. akan tetapi kebijakan ini tidak diterukan oleh penerusnya. justru beberapa lahan diserahkan kembali kepada priyayi istana sedangkan sebagian tanah disewakan kembali kepada pemodal asing. hingga terdapa pembagian pengelolaan di wilayah mangkunegaran  yakni pertama tanah yang disewakan mepada pemodal asing, kedua diserahkan kepada bangsawan mangkunegaran, yang ketiga tanah dikuasai oleh penguasa mangkunegarawan sendiri.

    di daerah karissidenan surakarta sendiri wonogiri sebagai salah satu wilayah memilki kesuburan yang tidak merata. daerah yang memilki wilayah utara dan tengah. salah satunya yaki perkebunan Wonogiri bagian utara adalah Mento Toelakan yang dikenal dengan perkebunan serat ketimbang perkebunan komoditas. selain itu Mento Toelakan inipernah menjadi pusat aktivitas perkebunan serat diwilayah Wonogiri dan karisidenan Surakarta  akan tetapi ini memiliki kajian historis yang minim sebab banyak bukti peninggalan perkebunan telah rusak dan hilang serta data-data yang diperoleh sangat minim. beruntungnya masih tersisa bukti dari beberapa situs sejarah ingatan masyarakat sekitar dan keturunan eropa yang pernah bekerja di tempat ini. kekinian wilayah Mento Toelakan jejak peerkebunan ini masih menyisakan tanaman serat nanas yang jarang ditemui. 

BAB VI " EPILOG"

       BAB VI " EPILOG"       Abad XIX ditandai dengan perubahan sosial yang terjadi di   wilayah Vorstenlanden Surakarta. Perubah...